Kader PKS, Satu-satunya Yang Kembalikan gratifikasi ke KPK

Lebih bersyukur lagi karena satu orang kader itu menjadi satu-satunya anggota DPRD II Sumenep yang mengembalikan gratifikasi ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Meski jumlahnya kecil bagi sebagian orang, tapi itu sangat berarti karena telah menghentikan praktek penyimpangan kekuasaan yang berlangsung di Sumenep selama ini,” jelas Caleg DPR RI untuk Dapil Jawa Timir XI (Madura).

PK-Sejahtera Online: [Sumenep, 16/3/2009] Soal gratifikasi ternyata masih ditanggapi berbeda oleh pejabat publik, terutama mereka yang berada di daerah..Contohnya di Kabupaten Sumenep, dari 45 anggota DPRD II ternyata hanya1 (baca: satu) orang yang mengembalikan gratifikasi sepanjang masa dinas hampir lima tahun. Hal itu terungkap dalam “Dialog dan Ikrar Antikorupsi” di gedung PKPRI Sumenep, Ahad (15/3) pagi. Acara yang dihadiri 500 orang warga lintas partai dan kelompok itu menampilkan pembicara: Drs. Sapto Waluyo (Anggota Majelis Pertimbangan Pusat PKS), H. Nur Asyur (Anggota DPRD II Sumenep), Drs. Mohammad Saleh (Inspektur Kabupaten Sumenep), KH Muh. Yasin, MHI (Ketua MUI Sumenep).

“Kami bersyukur memperoleh 1 kursi DPRD di Kabupaten Sumenep. Itu tanda kepercayaan masyarakat,” ujar Sapto. ”Lebih bersyukur lagi karena satu orang kader itu menjadi satu-satunya anggota DPRD II Sumenep yang mengembalikan gratifikasi ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Meski jumlahnya kecil bagi sebagian orang, tapi itu sangat berarti karena telah menghentikan praktek penyimpangan kekuasaan yang berlangsung di Sumenep selama ini,” jelas Caleg DPR RI untuk Dapil Jawa Timir XI (Madura).

Anggota DPRD Sumenep itu bernama Nur Asyur, yang baru menjabat wakil rakyat sejak Agustus 2008 lewat pergantian antar waktu. Dalam dua bulan pertama tugasnya di gedung parlemen lokal, Nur mengalami dan menyaksikan praktek yang menggelisahkan hatinya: pemberian insentif dari pejabat eksekutif yang menjadi mitra kerja DPRD dalam setiap rapat atau kunjungan kerja. “Jumlahnya mungkin tidak seberapa, hanya Rp 1-3 juta per kepala. Tapi, kalau dilakukan rombongan (5-10 anggota Komisi DPRD) dan secara rutin, maka bisa dikalkulasi dana daerah yang keluar untuk tujuan menyimpang itu,” papar Nur. Dalam suatu rapat atau kunjungan Komisi DPRD, pejabat Dinas Pemda harus menyiapkan Rp 25-30 juta dana pelicin agar kebijakan/programnya disetujui wakil rakyat.

Karena bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PKS, serta dilarang oleh UU Antikorupsi, maka Nur berangkat ke Jakarta pada bulan Oktober untuk mengembalikan gratifikasi yang diperoleh sebagai anggota DPRD. “Saya sempat bingung saat itu, karena tidak pernah berkunjung ke kantor KPK. Atas petunjuk Pak Sapto, maka saya bisa mengontak Direktur yang menangani masalah gratifikasi.. Bersama saya ikut antri mantan Menteri yang akan diperiksa dan beberapa pejabat DPRD dari daerah lain yang mau melapor. Mereka membawa amplop yang tebal-tebal, sementara saya hanya menyerahkan amplop senilai Rp 2,5 juta,” Nur bercerita, yang disambut tawa riuh para hadirin.

”Petugas KPK bertanya, apa cuma sebesar itu gratifikasi yang diterima? Saya jawab, ya karena baru bertugas dua bulan. Lalu ditanya lagi, berapa ongkos dari Sumenep ke Jakarta? Saya bilang, lebih besar sedikit dari dana yang dikembalikan, karena saya harus naik pesawat mengejar waktu sebelum batas akhir satu bulan masa pelaporan,” kisah Nur dengan lugu. Petugas KPK menerima dana itu dan memberikan tanda terima. Di masa yang akan datang, KPK memberikan kemudahan agar Nur dapat menulis laporan dari Sumenep dan mengirim dana gratifikasi via rekening khusus KPK. Dengan begitu kewajiban sebagai pejabat publik yang amanah dapat dilaksanakan, tanpa keluar ongkos tambahan.

Inspektur Kabupaten Sumenep, Mohammad Saleh, mendukung inisiatif kecil anggota DPRD asal PKS. Hal itu menandakan bahwa upaya pembentukan zona antikorupsi di kalangan birokrasi mungkin direalisasikan. ”Walau hanya satu orang anggota DPRD, tindakan itu mempengaruhi institusi secara keseluruhan. Apalagi, jika PKS nanti mendapat dukungan besar dan bisa membentuk satu fraksi, maka dampak kebijakan bisa lebih luas lagi,” Saleh menegaskan. Ia mengimbau agar anggota DPRD dari partai lain melakukan tindakan serupa, pencegahan korupsi mulai dari diri sendiri dan dari hal yang kecil. “Tindakan Nur Asyur harus didukung, bukan malah dicemooh atau diisolasi, karena lingkungan yang permisif akan membuat korupsi lebih merajalela,” Saleh menyimpulkan.

Praktek korupsi, menurut Saleh, bisa bermula dari pejabat eksekutif yang ingin memuluskan program dan anggaran dinasnya agar disetujui DPRD. Namun, bisa juga karena anggota DPRD yang meminta atau mendesakkannya. Banyak kebutuhan politik yang tidak dapat dipenuhi secara wajar, misalnya, dana kampanye yang sangat besar atau permintaan konstituen yang bertubi-tubi. Politisi yang amanah akan berusaha mencari akal untuk mendapat dana halal, sementara politisi nakal akan mencari siasat untuk menyimpangkan uang rakyat.

”Di situlah, masalah gratifikasi memperlihatkan urgensinya. Harus dicegah sejak dini, sebab kemungkaran kecil yang dibiarkan akan semakin membesar, lalu dianggap sebagai kebiasaan yang tidak bermasalah,” kata Kiai Muhammad Yasin dari MUI Sumenep. Kiai Yasin salut kepada kader PKS yang bersusah-payah mengembalikan dana haram. Itu sesuai dengan peringatan Nabi Muhammad Saw dalam suatu hadits yang mengecam tindak pengkhianatan terhadap amanah publik. ”Sesungguhnya fasilitas wakil rakyat sudah lebih dari mencukupi. Mereka mendapat gaji yang besar, tunjungan perumahan atau kendaraan, bahkan asuransi kesehatan untuk diri dan keluarganya. Belum lagi, tunjangan dinas untuk melaksanakan tugasnya. Bahkan, di masa reses, masih dibiayai negara untuk berkunjung ke daerah pemilihan.”

Sebagai bentuk komitmen kolektif, seluruh Caleg PKS dari tingkat pusat, provinsi dan kabupaten membacakan ”Ikrar Antikorupsi”. Sebenarnya ikrar tertulis telah ditanda-tangani semua caleg PKS di seluruh Indonesia di atas kertas bermaterai, saat mereka mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum, karena itu merupakan syarat yang ditetapkan PKS secara nasional. Namun, ikrar itu dibacakan ulang di hadapan publik, agar masyarakat bisa mengawasi praktek setiap caleg di daerah masing-masing. Ikrar sederhana, meski tak mudah mewujudkannya, karena godaan ada di mana-mana.

0 Comments:

Label